Long story…short…singkat kata kami sekeluarga pindah ke Jogja. Sebuah kota yang gak sedikitpun kepikiran untuk ditinggali selain buat liburan. Saya bukan tipe yang suka detail bercerita sesuatu tentang diri saya so…maafkan kalo postingan kali ini bukan tentang kepindahan saya ke Jogja tapi tentang seseorang yang memberikan warna dalam hidup saya di Jogja beberapa bulan terakhir.
Namanya Mei. Saya kenal Mei sudah lama sekali sejak tahun 2008, ketika saya bekerja di sebuah provider dan pertama kali kenalan karena kita sama-sama di satu departemen. Kesan pertama agak lupa tapi anaknya ramah, kelihatan ambisius dan wajahnya antagonis sekali. Tidak ada sedikitpun keteduhan di sana, wajah yang selalu tampak terburu-buru melihat sesuatu.
Pertemanan kami tidak begitu akrab tapi saya tau semua kehidupan pribadinya karena Mei ini adalah orang yang sangat aktif di media sosial. Saya kemudian resign dan menikah, gak lama berselang dia juga menikah dengan sebuah pesta pernikahan yang mewah…ciri khas Mei sekali. Hamil pun hanya selisih dua bulan dengan saya. Kemudian belakangan saya ketahui bahwa suaminya mengidap penyakit yang cukup susah untuk disembuhkan.
Kami jarang bertegur sapa, hanya saja saya merasa tidak ketinggalan berita tentang dia karena semua dia share di media sosial. Kehidupannya tampak sangat ‘mewah’ dan tidak ada sedikitpun berita ‘miring’ tentang Mei. Jadi saya berkesimpulan bahwa ini adalah hasil kerja keras dan sifat ambisiusnya dia.
Beberapa saat kemudian, saya dikagetkan dengan berita bahwa suaminya dilarikan ke ICU karena penyakitnya. Broadcast message saya terima malam hari dan paginya saya menerima BM lagi jika suaminya telah meninggal. Entah kenapa saya tiba-tiba nangis sambil memeluk Lilo. Saya langsung kepikiran anak laki-laki semata wayang mereka. Pun saya tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan saya melayat pun tidak. Tapi saya bersedih sekali waktu itu, hingga saya sempat menelusuri media sosial Mei dan suaminya, sekedar kepo atau saya bernostalgia, saya pun tidak mengerti walau ujung-ujungnya saya tetap menangis.
Setelah kepergian suaminya, kami in touch lagi via BBM. Dia pinjam uang ke saya untuk keperluan bayar kontrakan. Meskipun banyak pertanyaan berkecamuk, saya tetap meminjami padahal setau saya rumah dia baru saja jadi sesaat setelah suaminya meninggal. Dia hanya bilang, rumahnya dijual karena almarhum suaminya ada tanggungan dan lain-lain. Setelah uang dikembalikan, saya masih sering BBMan, terakhir sebelum kepindahan saya ke Jogja tiba-tiba BBMnya tidak bisa dihubungi.padahal saya berharap ada teman ketika saya pindah ke Jogja, hingga tiba-tiba dia message saya di path dan ternyata BBMnya deactive. Akhirnya kita berhubungan lagi pas saya sedang pindahan ke Jogja.
Singkat cerita, kita membuat janji untuk bertemu. Sebelumnya dia sudah menceritakan sebagian masalahnya di BBM. Antara kaget dan percaya, hingga saya tidak sabar untuk menemuinya. Kemudian saya berkunjung ke rumahnya dan betapa kagetnya saya melihat sosok Mei yang sekarang. Semua kesan pertama dulu bertemu seakan-akan lenyap. Saya bagaikan melihat sosok berbeda dengan Mei yang selama ini saya kenal, berhijab dengan tatapan yang teduh dan mimik wajah yang begitu berserah. Jujur, saya tidak bosan-bosannya memandangi wajahnya. Kemudian cerita itu mengalir dengan runut, jelas, tenang dan pasrah.
Adalah Mei yang sekarang ini telah mengalami banyak peristiwa yang bagi saya sudah di luar akal sehat saya. Meskipun Mei pasrah karena ini adalah jalan hidup yang sudah digariskan dan buah dari segala perbuatan tercelanya di masa lalu. Setelah diberikan cobaan suaminya meninggal, Mei dihadapkan pada PHK dari kantornya karena ada kelalain fatal dalam pekerjaannya. Cobaan selanjutnya adalah dia terlilit hutang yang bagi Mei pun tidak masuk akal jumlahnya karena dia berhutang pada rentenir hingga dilaporkan ke polisi. Dalam kondisi janda, tidak bekerja dan jadi tersangka sebuah kasus penipuan, Mei menceritakan semua itu dengan sangat tenang sementara saya yang mendengarkan yang menangis. Mei tidak pernah meratapi nasibnya, dia begitu tegar menghadapinya dan dia selalu bilang ‘saya cuma punya Allah yang bisa menolong saya’. Rasa-rasanya ini bukan Mei yang saya kenal tapi saya lebih suka Mei yang sekarang.
Karena status Mei sudah tersangka, kemudian dia pun harus menjalani penyidikan. Dia dibantu pengacara secara gratis karena Mei selalu mengatakan keadaan dia yang sebenarnya bahwa dia memang tidak punya uang. Penyidikan pun dilakukan selama beberapa hari dan selama penyidikan berlangsung, Mei selalu datang sendiri tanpa didampingi keluarga, bahkan dia menolak bantuan salah seorang keluarganya untuk menjamin kebebasan bersyaratnya. Karena bagi Mei, semakin cepat dia menjalani proses ini yang bagi dia merupakan konsekuensi atas perbuatannya di masa lalu, semakin cepat pula dia bisa menata hidupnya kembali. Keajaiban pun terjadi atas doa-doa dan dzikir yang Mei panjatkan setiap saat, Mei dinyatakan wajib lapor dan tidak ditahan dengan mempertimbangkan alasan kemanusiaan bahwa anak Mei masih di bawah umur. Dia menelepon saya waktu itu dan saya ingat benar saat Mei menelepon, kondisi hujan deras. Mei histeris sambil bertasbih dan menangis menceritakan proses kebebasannya, saya pun ikut menangis haru. Mei membuktikan sebuah kekuatan doa yang membuat saya bergetar.
Semakin hari, saya semakin tenang berada di dekat Mei. Dengan segudang permasalahan yang seakan tidak ada akhirnya, Mei membimbing saya dan telaten mendengar keluh kesah saya. Masalah yang saya hadapi tidak seberapa dibandingkan dengan masalah Mei tapi Mei menunjukkan ketegaran yang luar biasa yang membuat saya malu. Kadang tanpa Mei sadari ada kesedihan yang terpancar jelas dimatanya. Kesedihan yang dia tahan dan berusaha dia sembunyikan tapi mata Mei kadang tidak bisa bohong. Kalau sudah seperti ini, biasanya Mei sibuk dengan handphonenya dan sangat menunggu waktu sholat, mungkin dia ingin mengadu kepada-Nya.
Begitula Mei, sosok yang telah hancur luar dalam namun perlahan tapi pasti dia mampu menata kembali kepingan kehancuran tersebut bahkan dengan bentuk yang lebih baik dari sebelumnya. Saya bisa katakan, dia mendaur ulang dirinya hingga nyaris tak tersisa Mei yang dulu pertama kali saya kenal, hanya saja kesedihan itu tetap ada dan saya tau justru itulah yang menguatkan Mei untuk bertahan dan berserah diri kepada Sang Khalik. Dan yang tak pernah Mei lelah buktikan ke saya adalah dahsyatnya kekuatan doa.
Terimakasih Mei….